Minggu, 08 Sept 2002
Bus Panggung Luluk di 24 Kampus AS


MUSISI jazz kenamaan Indonesia Luluk Purwanto menggebrak lewat show di 42 kampus dan 24 negara bagian AS. Uniknya, Luluk dan the Helsdingen Trio pimpinan René van Helsdingen (suami Luluk sendiri) menggunakan bus sebagai panggungnya.

Dari ke kampus ke kampus, kota ke kota, sejak 25 Juni lalu, Luluk "menantang" publik jazz Amerika. Di ibu kota AS, kemarin Luluk tampil di kampus George Washington University (GWU) sekaligus manggung di gedung KBRI Washington DC.

Wartawan Jawa Pos Ramadhan Pohan, yang menyaksikan sepak terjang Luluk dan suami di AS kali ini, melaporkan, penampilan Luluk memang luar biasa.

Luluk. Sebagai seniman tulen, layak bila dia tak pernah berhenti berkreativitas. Bukan hanya seni saja dieksplorasi, tapi kreasi Luluk juga muncul dalam penggarapan panggung dan pasar publik jazz. Bis bercorak gelap namun warnanya dikontraskan dengan visual Luluk yang tegas. Di sekeliling bus itu kebanyakan memang foto Luluk lagi main biola, baik ukuran kecil, sedang maupun besar. Ada tulisan luluk.com pula, sehingga memudahkan orang membaca sebagaimana mereka yang sempat menjelajah jazz Luluk di internet.

Ketika bus berjalan, publik AS tahu bahwa kendaraan itu milik Luluk. Ketika ia berhenti dan manggung di halaman parkir kampus, orang-orang Negeri Paman Sam tahu, Indonesia memiliki seorang seniman idealis, berbakat, dan berkualitas. Tur menggunakan bus-panggung (stage bus) memang unik. Sebagaimana bus umumnya, bus Luluk sama saja.

Bedanya, paling, tempat duduk bus Luluk memang tak banyak, ruang tempat kursi-kursi praktis dikosongkan untuk diganti jadi panggung. Jadi bagian samping kiri bus bisa tutup-buka. Dibuka ketika manggung dan kembali ditutup manakala Luluk dan Helsdingen Trio meninggalkan satu state (negara bagian) menuju state lain.

Bus Luluk juga dibikin cute dan gaya, sesuai selera Luluk. Bus ini didesain selama dua bulan di Amsterdam Noord (Wilayah Amsterdam Utara, Belanda). Untuk mengapalkannya ke AS, perlu waktu 12 hari.

Bagi seniman Amerika, kendaraan dijadikan panggung seni, dulunya memang tergolong lumrah, khususnya di kalangan seniman jazz. Dulu jazzer memang sering melakukan tur dan show ke seantero negeri dengan bus. Kini Luluk menggali lagi kultur stage bus ini.

Dalam bahasa Luluk yang lebih rileks, bus-panggung ini kelihatan praktis dan tidak memusingkan. "Jadi kami ingin membawa musik ke masyarakat. Jadi masyarakat nggak datang ke kita, tapi kita yang ke masyarakat. Itu idenya. Ini dicetuskan Jak Art Jakarta kok, he…he…he," ujarnya, sembari menyeringai.

Luluk memang total dalam jazz. Dia juga mencerminkan sosok yang tidak bisa keluar dengan warna etnik Jawa dan nasionalisme Indonesianya. Walaupun di brosur, poster, dan bodi bus tertulis Indonesian-American-Dutch Cross Cultural Promotion Tour, tapi yang menonjol tetap Indonesia.

Luluk adalah musisi Jogja kelahiran Solo 25 Juni 1959. Sedangkan warna Amerika diwakili oleh pemain bas berkulit hitam Essiet Okon Essiet dan pemain drum sekaligus perkusi Marcello Pellitteri. Sedangkan pimpinan trio René van Helsdingen mewakili kultur Belanda. Ditanya kenapa unsur Indonesia malah menonjol dominan di panggung, Luluk menjawab enteng sambil agak ngakak.

"Luluk kan orang Indonesia, jadi warna Indonesia yang ditampilkan. Lebih dari ekspresi musik. Jadi karena saya orang Indonesia dan di jazz itu ada kebebasan untuk berimprovisasi kan? Kebebasan Indonesia itulah yang keluar, ya Jawa-nya, Sumateranya, Bataknya, semuanya," kata Luluk.

Dalam CD dan pementasannya, Luluk dan trio jazz-nya kerap membawakan lagu-lagu Lir-Ilir, Cublak-cublak Suweng, Selayang Pandang, dan lainnya. Cukup memukau.

Duta Besar Indonesia untuk AS Soemadi D.M. Brotodiningrat sempat menawarkan Luluk main di tempat yang lebih besar, tapi Luluk tidak punya waktu. Programnya sangat padat, dan banyak kampus dan kota yang tengah menantinya hingga Oktober ini.

Luluk memang banyak berutang budi pada bus panggungnya. Bus panggung ini sekaligus menjawab kenapa Luluk cs memilih kampus-kampus di AS. Jika menggunakan stadion, jalanan besar atau tempat-tempat umum terbuka, perizinannya agak ribet bin rumit. Sedangkan kalau kampus, itu gampang. Paling-paling hanya berurusan sama pihak kampus dan semua urusan sekaligus di satu tempat.

"Kami ini full time. Cuma main di kampus, thok. Kenapa di kampus, ini kan our first time. Karena ini bus, maka lokasi, authority, polisinya, semuanya, itu dalam satu tempat. We start di kampus dulu deh," timpalnya.

Luluk baru tiga bulan menjalankan bus panggungnya dari target keliling 42 kampus 24 states ke seantero AS hingga 15 Oktober nanti. Sungguh meletihkan. Tapi bagi seniman seidealis Luluk, bukan itu soalnya. Yang problem malah soal hawa. Apalagi di AS saat ini adalah musim panas (summer), dan banyak nyamuk juga. Ketika ditemui di dalam bus panggungnya itu, sebelum manggung di KBRI Washington, Jawa Pos sempat memergoki satu dua nyamuk menggigit tangan Luluk.

"Hawanya ini, lho. Capeknya sih nggak kerasa. Begini deh, kalau capek mungkin, tapi begitu main, hilang tuh capek-nya. Yang masalah hanya hawa, aku alergi kena panas, malu-maluin ya. Luluk mau nyemprot nyamuk dulu ya,"paparnya, sekenanya.

Luar biasa memang sumbangan Luluk buat diplomasi kebudayaan Indonesia di Amerika. Itu dilakukannya seadanya, benar-benar sukarela, dan tanpa niat komersil. Bravo, Luluk! (*)