SEMARANG-Tiga tahun lalu JakArt hanya
dikenal di Jakarta. Mulai tahun ini panitia JakArt melakukan
tur keliling ke Jawa-Bali. Kali pertama pula rombongan
seniman itu singgah di Kota Semarang.
Bersama Yayasan LengkongCilik, mulai Sabtu-Minggu
(29-30/5) panitia menggelar berbagai pertunjukan kesenian
secara serempak di beberapa tempat. Paduan antara kesenian
dari dalam dan luar negeri, kali ini disuguhkan secara
gratis untuk warga Kota Semarang.
Pameran foto, lukisan abstrak, dan pertunjukan teater
boleh dibilang mengawali pertunjukan keliling JakArt ke Jawa-Bali
kali ini. Berikutnya pertunjukan musik, film, dan tari
mengisi beberapa tempat secara bersamaan. Musisi jazz
seperti Walter Lampee, Luluk Purwanto dan Rene Van Helsdigen,
serta Olga Reina Adiani, Sabtu (29/5) pukul 19.00 WIB
menyemarakkan halaman Undip dengan alunan musik jazz. Hanya
berselang tiga puluh menit kemudian, The Music of Trisutji
Kamal menjejakkan alunan musik klasik di Kelenteng Sei Ong,
Jalan Sebandaran.
Untuk membumikan nuansa Indonesia, sebuah tarian khas
Cirebon, Tari Topeng Kelana dipentaskan di Joglo Sanggar
Seni Paramesthi, Jalan Kelud Raya. Begitu pula dengan Talago
Buni, satu dari sekian musik kontemporer Minangkabau
dikenalkan kepada komunitas Jawa Tengah.
"Masyarakat yang biasa berinteraksi di kampus, rumah
ibadah, atau perkampungan selama ini cukup apresiatif
terhadap beragam kesenian," tutur Drs Mulyo Hadi
Purnomo, Koordinator Pelaksana 'Festival Ala Carte'
di Semarang.
Boleh dikata, festival keliling JakArt itu menjadi awal
untuk mengenalkan warna kesenian lain yang berbeda dari yang
selama ini ditawarkan media massa. Jika selama ini
masyarakat hanya mengenal seni sebatas layar tancap dan
dangdut, Festival Ala Carte dapat menjadi alternatif lain.
"Setidaknya JakArt bisa menjadi tontonan lain bagi
masyarakat, dan memberikan sesuatu yang baru," tutur
Ari Suteja, salah satu penggagas JakArt. Sebab seringkali
kesenian tertentu macam musik klasik terasa asing di telinga
masyarakat awam. "Tak kenal maka tak sayang,"
begitu kata Ari.
"Kesenian itu dianggap asing, karena jarang disentuh
dan dikenalkan. Karenanya, kami datang menghampiri
masyarakat untuk mengenalkan," tutur seniman itu.
(nik-64)