|

Selasa, 17 Sept 2002
Menyaksikan Luluk Purwanto Goyang Publik Jazz Amerika
(Bag-2/Habis):
Tantangan di Negeri Asal Jaz
Ramadhan Pohan, Washington DC
TEKAD Luluk Purwanto dan Helsdingen
Trio menggebrak Amerika Serikat (AS) benar-benar edan. Tapi, itulah
Luluk, sosok yang selama berbicara dengan Jawa Pos kerap mengutip
istilah "tantangan".
Pasalnya, bagi Luluk, tantangan di negeri-negeri lain
-sebut saja Eropa-masih di bawah level Amerika. Paling tidak, itu
berdasarkan pengalaman Luluk yang sebelum tur di AS ini sudah melanglang
Eropa. Ditanya soal perbedaan konkret antara main di tempat-tempat lain,
termasuk Eropa, dibandingkan dengan Amerika, Luluk berargumen spontan.
"Main di Amerika ini merupakan tantangan raksasa. Semua master dan
tuhannya jaz mayoritas kan berasal dari Amerika. Jaz sendiri adalah
kulturnya Amerika. Jadi, buat kita, kayak tantanganlah," papar Luluk.
Ada idealisme lain dari Luluk mengapa dia memilih banyak bermain di
mancanegara, lebih-lebih di tempat paling menggentarkan seperti Amerika.
Tanpa bermaksud mencela musisi jaz Indonesia yang cenderung berkutat
terus di tanah air, Luluk melihat banyak nilai positif yang didapatkan
dari pengalaman di "dunia luar". Manggung di mancanegara terasa
menggugah dan menciptakan daya juang tersendiri.
"Sebagai
seniman, berada dalam satu tempat saja dan nggak banyak tantangan,
mungkin agak lambat majunya, gitu. Saya memang kepengen ditantang terus.
Jadi, saya juga belajar terus kan," jelasnya tanpa bermaksud merasa
supergagah.
Masing-masing lokasi di Amerika memiliki karakter
publik dan pengalaman yang berbeda. Bagi Luluk, dia bisa makin belajar
sekaligus menambal ketidaksempurnaan menurut standar idealismenya.
Menimba pengalaman dan belajar terus pada gilirannya mematangkan Luluk
sebagai seniman.
Memilih kampus sebagai tempat konser juga bukan
tanpa pertimbangan. Masyarakat kampus di AS memang merupakan market
publik jaz. Bagi Luluk cs, kampus-kampus Amerika sangat pas dijadikan
sasaran atau barometer animo publik jaz AS untuk aksi mereka. "Kita
targetkan dua universitas di satu state (negara bagian AS, Red),"
katanya.
Tersirat kuat dari Luluk bahwa tur bus-panggung (stage
bus) keliling separo Amerika yang dijalaninya saat ini merupakan
permulaan. Artinya, tur tersebut bakal disusul pementasan Luluk cs
berikutnya. Bisa dikatakan, pentas dari kampus ke kampus dan kota ke
kota AS itu merupakan tahap penjajakan mereka.
Bila sampai
Oktober nanti hasil evaluasi Luluk cs positif, pemanggungan mereka
mendatang bakal lebih komersial. Yang dilakukan Luluk cs saat ini baru
sebatas upaya non-profit.
Berapa dana yang sudah dihabiskan
selama tur bus-panggung itu? "Banyak uang yang sudah keluar deh,
banyak," ujar Luluk dengan vokal pelan. Luluk mengaku bahwa mereka
banyak dibantu Festival JakArt di Jakarta. Dapat berapa? Luluk memilih
bungkam. Ada kesan tidak etis membeber soal yang satu itu.
"Gini
lho, yang penting itu bukan berapanya. Support itu tidak terbatas
nilainya," tegas Luluk diplomatis. Kalau bus-panggung yang cute itu dari
siapa? "Ini busnya Luluk, didatangkan dari Belanda. Bus yang ini
dikapalkan 12 hari dari Belanda," imbuhnya.
Tur Luluk dan
Helsdingen Trio pimpinan suaminya itu masih akan berlangsung hingga
Oktober nanti. Masih banyak kampus, kota, dan states yang menunggu
gesekan biola Luluk dan kepiawaian Helsdingen Trio. Kucuran dana tak
pelak menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar.
"Kami masih
perlu banyak sponsor, he...he...he...," ujarnya sambil menyeringai
lebar. Luluk dan musisi Helsdingen Trio cukup kompak di dalam dan di
luar panggung. Kesolidan itu merupakan salah satu kunci mutlak sukses
mereka. Bisa dibayangkan bila kekompakan mereka rapuh atau ada salah
satu pemain yang tidak puas dan cabut. Mau tak mau, pembagian kerja
harus berjalan rapi.
Energi, stamina, kerja sama, dan enjoy,
mungkin merupakan kunci utama kekompakan mereka. Pemain drum dan
perkusi, Marcello Pellitteri, mengakui hal itu. "Kami mencintai apa yang
kami lakukan ini. Setiap kali menyukai apa yang dilakukan, bahkan jika
Anda lelah, kamu tetap senang dan bahagia," kata pria berambut gondrong
yang nge-jaz dengan mengenakan kemeja batik itu.
Lebih dari itu,
tentang suaminya, René van Helsdingen, Luluk patut bersyukur memiliki
suami yang berdedikasi jaz tinggi. Dari kesan luarnya, René merupakan
sosok yang sabar, telaten, tenang, dan tidak banyak cincong.
Selama perbincangan dengan Jawa Pos, Luluk seperti menyadari bahwa besar
sekali peranan suaminya itu menopang kelangsungan dan kekuatan tur
bus-panggung mereka. Asal tahu, René sendiri yang mengemudikan
bus-panggung itu merangsek jalanan dari kampus ke kampus dan kota ke
kota.
"Driver-nya memang René. Dia yang main piano, manajer,
sopir, suami, dan ngurus-ngurus, kasihan banget, ya…," tutur Luluk
seolah baru menyadari "peran raksasa" René.
Peran René memang
terasa sekali, termasuk dalam aransemen dan lagu-lagu yang mereka
bawakan selama tur maupun di CD Born Free mereka. Ada satu judul ciptaan
René, misalnya, Rice (padi, Red) yang banyak dipuji penonton. Lagu itu
melukiskan lanskap sawah di pedesaan, ketenteraman, kedamaian, dan
gunung berapi di belakangnya. Dalam lagu itu ada pula banyak kombinasi
bunyi, mulai suara burung, alam, kereta Jogja-Jakarta, topeng monyet,
dan sebagainya.
Ditanya soal proses kreatif Rice, René terdiam
sejenak. Lagu berinspirasi dari pematang sawah itu diciptakannya jauh
sebelum bertemu dan menikahi Luluk. "Pertanyaan ini agak sulit. Lagu itu
saya tulis 25 tahun lalu. Sudah sangat lama," kata René.
Bahkan,
pemain bas, Essiet Okon Essiet, tak sungkan-sungkan menyatakan salut
atas lagu yang dibikin René. "Saya suka melodi-melodinya, itu fantastis
sekali. Saya benar-benar bisa menggambarkan apa yang dikatakannya,
seperti sawah, suara-suara di sekitar dari tempat-tempat berbeda, dan
dengan arti yang berbeda-beda," papar Essiet.
Selama penampilan
Luluk dan Helsdingen Trio, panggung senantiasa terisi ragam alat musik
dan perlengkapan tradisional Indonesia. |
|