|
Drs. I Gede Ardika
Lahir: Singaraja, 15 Pebruari 1945
Agama: Hindu
Pekerjaan: Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Aktif dalam kegiatan: Yayasan Pendidikan, Yayasan Kebudayaan, Yayasan
Pelestarian Lingkungan-Sosial, Keagamaan (Hindu)
Bahasa Daerah dan Asing: Bali (Aktif), Jawa (Pasif), Sunda (Pasif),
Inggris (Aktif) dan Perancis (Aktif)
Pendidikan Formal :
SDN No 2 Singaraja, Bali 1957
SMPN I Singaraja, Bali 1960
SMAN Singaraja, Bali 1963
Jurusan Seni Rupa ITB 1963-1964
APN Bandung 1964-1967
Manajemen Perhotelan, International Institute Glion, Swiss 1969-1972
STIA LAN, Bandung 1974-1977
AKTA IV, IKIP Malang 1984
Pendidikan Kedinasan
SESPASUS 1992
LEMHANNAS (dengan predikat Wibawa Seroja Nugraha) 1995
Pendidikan Informal :
Aliance Francaise, Grade 2, Bandung, 1967- 1969
Bahasa Perancis Intesif, Euro Centre, Launsanne, Swiss 1969
Seminar Nasional Pendidikan Pariwisata Bandung* 1974
Manpower Development Plan Course. Inter-Continental Hotel Corportion,
1975
ASEAN Training Program For Hotel Management Executive, University of
Hawaii, 1976
Organization and Management fundamental for Executive, 1979
Institut Jakarta Politeehnique
Penataran P4, Tingkat Propinsi Bali diangkat sebagai Penatar P4 Tingkat
Propinsi
1980
Tourism Planning, University of Bradfort, Inggris, 1980
Sutudi Perbandingan Sekolah/Lembaga Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata
di Negara-negara Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Austria, 1980
Tourism Management Development, Japan Education Centre for Hotel
Industry Tokyo, Jepang 1981
Food & Beverage Training Programme, Ecole Hoteliere Lausanne, Swiss 1982
Internasional forum ILO International Hotel Association Geneva
Swiss*1983
Seminar Bali dan Pariwisata, Universitas Udayana, 1983
Seminar on Japanese Tourist in Bali, ASEAN Promotion Centre Tokyo
Jepang, 1983
Lokakarya Kredit Investasi Hotel dan Restoran PHRI 1984
Lokakarya Desain dan Dekor Interior untuk Hotel dan Restoran, PHRI*,1984
Internasional forum-ILO Internasional Hotel Association Copenhagen,
Denmark, 1984
Lokakarya Program Studi Ilmu Kepariwisataan, Universitas Udayana, Bali,
1985
Seminar Biologi, Pesta Seni Daerah Bali, 1985
English for Internasional Cooperation, British Counsil, Jakarta, 1986
Workshop on Convention Marketing and Management Asia Association or
Convention and Visitor Bureaus, 1996
Seminar Tantangan Pariwisata Indonesia, 1987
National Workshop on Tourism Education and Training UNDP-ILO, 1988
Penataran Pengawasan Melekat, Tingkat Departemen, 1988
Seminar “AIDS” Ikatan Dokter Indonesia*, 1988
Seminar Himpunan Desainer Interior Indonesia*, 1988
Penyusunan AMDAL INKINDO-KLH, 1990
Seminar dan Lokakarya Pembangunan Aspek Kelautan di Indonesia Bagian
Timur, Departemen Perthanan Keamanan, 1990
Studi Perbandingan Pengembangan Pariwisata di Negara-negara, 1990
Thailand, India, Austria, Inggris, Perancis, Jamaica, Cayman
Island,Amerika Serikat
Penataran Penyidik Pegawai Negeri Sipil, 1991
PATA Conference & PATA-HRD Conference* Bali, 1991
World Tourism Organization, Round Table* General Assembly Buenos Aries
Argentina, 1991
Retraining Dosen Jurusan Pariwisata* Politeknik Universitas Udayana 1992
PATA Conference, Hong Kong, 1992
Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat Propinsi, LAN-Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah, 1992
The Role or Public Relation in Tourism Industry, 1993
PATA-WTCC Human Resources Development on Tourism Conference*, 1993
WTO-Commiltee of Soulh Asia and Asia Pacific Conference*, 1994
PATA-WTTC Human Resources Conference, Vancouver-Canada*, 1994
Tourism Development in Developing Countries-Seminar, Paris*, 1996
Tourism Working Group-APEC, Santiago-Chili*, 1996
International Conference on Litoral Conservation, Paris*, 1996
Tourism Working Group-APEC, Taipei, Ketua Delegasi Indonesia*, 1997
*) Sebagai Pembicara
Riwayat Karir :
Kepala Peraga, APN, Bandung 1968
Asst Dosen untuk mata kuliah Restoran Operasional APN, Bandung 1968-1969
Ka. Sekte Pengajaran APN Bandung 1972-1973
Dosen mata kuliah Hause keeping APN Bandung 1972-1973
Pelaksanaan tugas Direktur National Hotel Institute Bandung 1973-1976
Dosen untuk mata kuliah Hotel Planing APN Bandung 1973-1976
Pjs Direktur National Institute Bandung 1976-1978
Direktur Pusat Pendidikan Perhotelan & Pariwisata Nusa Dua Bali
1978-1985
Anggota Komisi Pendidikan International Hotel Association 1974-1984
Pelaksana Tugas Kasub Direktorat Perhotelan & Penginapan Ditjen
Pariwisata 1985-1986
Kepala Sub Bagian Direktorat Perhotelan & Penginapan Ditjen Pariwisata
1986-1988
Kabag. Perencanaan Ditjen Pariwisata 1988-1991
Kakanwil Dep. Parpostel Prop Bali 1991-1993
Ka. Pusdiklat, Dep Parpostel 1996-1998
Sekretaris Ditjen Pariwisata 1996-1998
Dirjen Pariwisata, Dep Parseni Bud 1998-2000
Waka Badan Pengembangan Pariwisata & Kesenian 2000
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2000-sekarang
Penghargaan - Bintang Jasa:
Satya Lencana Karya Satya (XX) 1997
Satya Lencana Pembangunan 1999
Motto:
“Tantangan adalah kunci keberhasilan & kegagalan adalah keberhasilan
yang tertunda”.
Pencinta
Seni yang ‘Dituntun’ ke Dunia Pariwisata
Manusia hanya perencana tetapi Tuhan-lah penentunya. Pernyataan yang
mengisyaratkan betapa besar kuasa Sang Pencipta ini tercermin nyata
dalam perjalanan hidup dan karir I Gede Ardika. Pencinta seni yang
bercita-cita mendalami ilmu seni rupa ini dua kali harus meninggalkan
bangku kuliah di Fakultas Seni Rupa ITB karena memenuhi ‘panggilan’
dunia perhotelan dan pariwisata. Rupanya, itu sebuah misteri tuntunan
tangan Tuhan untuk mempersiapkannya mengemban tugas menjadi Menteri
Negara Kebudayaan dan Pariwisata.
Kisah hidup tokoh yang mengidolakan Dharmawangsa ini barangkali tidak
untuk sekedar melihat keberhasilannya kini, namun dapat mengajak lebih
jauh melihat betapa besarnya kuasa tuntunan tangan Tuhan dalam
menentukan arah kehidupan makhluk-Nya di dunia.
Pria penerima penghargaan dan bintang jasa Satya Lencana Karya Satya
(XX) 1997 dan Satya Lencana Pembangunan 1999, ini lahir 15 Februari
1945, di Banjar Dukuh, Desa Sudaji, Singaraja, Bali. Ia putera pertama
seorang Sedan (perwakilan pemungut pajak untuk sawah di Bali) I Made
Arka dan istrinya Ni Made Sandat. I Gede Ardika tumbuh ceria di tengah
kehidupan keluarga desa yang sederhana dalam rangkulan tumbuh kembang
ramahnya suasana pedesaan di Ibukota Propinsi Sunda Kecil di kala itu.
Sebagai anak pertama, ia tentu saja berkewajiban membantu ibunya menjaga
adik-adiknya. Namun tidak berarti ia kehilangan masa kanak- kanaknya
yang ceria. Tapi itulah tanggung jawab pertama yang dipercayakan
kepadanya di masa itu.
Sejak kecil, Ardika telah mulai menampakkan kecintaannya terhadap dunia
seni, khususnya cerita-cerita pewayangan Bali. Bermula dari kebiasaan
neneknya yang hampir setiap hari menjelang dan hingga terlelap tidur
mengisahkan pewayangan Bali. Kisah-kisah pewayangan itu terekam menjadi
sebuah rangkaian bunga cerita di dasar hati Ardika yang turut pula
menghiasi alur-alur mimpi indahnya.
Kesukaannya terhadap dunia seni ini, akhirnya menjadi sebuah talenta
yang semakin hari menggelitiknya untuk dapat lebih menyelami kesenian
yang ada. Inilah pula yang membuatnya tidak pemah melewatkan waktu
menyaksikan pertunjukan wayang ataupun dramatari Arja di kala ia masih
anak remaja. Kendati tidak jarang jarak tempat pertunjukan cukup jauh
dari desanya. Dan untuk memastikan berapa jarak tempuh itu, Ardika dan
teman-temannya biasanya menggunakan beberapa ikat sundih (obor yang
dibuat dari daun kelapa kering). Bila jaraknya menghabiskan lima atau
sepuluh ikat sundih, maka dapat dibilang jaraknya tidaklah terlampau
jauh. Namun bila sundih yang dihabiskan mencapai dua puluh ikat, berarti
jaraknya cukup jauh dan mungkin harus melewati beberapa desa. Namun
berapa sundih pun yang akan dihabiskan, Ardika tidak akan melewatkan
pertunjukan itu.
Apalagi bila siang harinya, sepulang dari sekolah, ia telah dapat
mengumpulkan putik bunga jati yang bila ditekan akan menyemburkan air,
akan membuatnya makin bersemangat berangkat ke arena pertunjukan itu.
Sambil mengulum senyum, ia sudah membayangkan wajah teman-temannya yang
akan disemprot air putik bunga jati itu manakala terkantuk-kantuk di
tengah pertunjukan.
Suasana desa yang demikian inilah yang membentuk figur diri Ardika.
Terisi nilai moral dan falsafah hidup dari tiap penggal kisah
pewayangan. Serta sosoknya terasah dari guyubnya, sosok masyarakat polos
dalam ikatan adat dan budaya di tengah alam yang hijau subur. Suasana
alam dan budaya yang menandakan kemakmuran dalam kesederhanaan yang
bersahaja.
Memasuki dunia pendidikan dasarnya, Ardika memulai di Sekolah Rakyat
(SR), desa Sudaji selama tiga tahun, sampai kelas tiga. Meski bangunan
SR itu terbuat dari dinding bambu dan beratap daun kelapa, tetapi tetap
tidak mengurangi antusias warga desanya untuk mengenyam pendidikan di
kala itu. Namun suatu ketika, terpaksa Ardika dan kawan-kawan harus
pindah belajar di bawah lumbung padi kakeknya, karena bangunan sekolah
roboh disapu angin kencang.
Ardika kemudian meneruskan bangku kelas empatnya di Sekolah Dasar Negeri
2 Singaraja hingga tamat. Lalu melanjut di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1 Singaraja dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja.
Semasa sekolah itu, ketertarikannya pada dunia seni seakan sudah tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Ia sungguh ingin mempelajari ilmu seni rupa,
seni lukis ataupun seni ukir di perguruan tinggi. Ia berniat melanjut ke
Fakultas Seni Rupa - Institut Teknologi Badung. Lalu ia mengikuti
serangkaian ujian di Singaraja untuk dapat masuk fakultas itu.
Meski belum tahu apakah diterima atau tidak di perguruan tinggi itu,
namun berbekal restu dari ayahnya, Ardika memberanikan diri merantau
meninggalkan desanya dan berangkat ke Bandung dengan kereta api. Ia pun
tak lupa membawa sepeda kesayangannya. Dan pada tanggal 28 Agustus 1963,
ia turun dari kereta api, yang juga merupakan pertama kalinya
menginjakkan kaki di bumi Pasundan.
Setibanya di Bandung, Ardika tidak melihat sepedanya. Sepedanya entah di
mana. Padahal ia sangat memerlukan sepeda itu sebagai sarana
transportasi mengenali dan mengakrabi sudut-sudut kota kembang itu.
Namun yang paling penting lagi sebagai sarana mengantarnya melihat
pengumuman penerimaan mahasiswa baru dari tempat kost ke kampus ITB
Bandung. Apa boleh buat, akhirnya ia harus meminjam sepeda tetangga.
Dengan hati berdebar, satu persatu gerak kakinya menggayung sepeda
pinjaman itu mendekati kampus yang telah diidam-idamkannya sejak lama.
Satu-satu keringat menetes dan disekanya tak terasa. Dengan nafas yang
terengah-engah setelah mendayung sepeda itu, ia mendekati papan
pengumuman dan matanya mulai menyelidiik nomor- nomor yang tertera di
hadapannya. Syukurlah, ia temukan juga nomor miliknya yang turut tertera
sebagai mahasiswa yang diterima di Institut Teknologi Bandung.
Rasanya sesegar udara pagi pegunungan, Ardika menghirup nafas
dalam-dalam meluapkan kelegaan hatinya. Bahkan letihnya mengayuh sepeda
di perjalanan pulang pun tak lagi terasa. Hari itu seolah terjawab sudah
semua teka-teki di hatinya bahwa perjalanan jauhnya ini tidak akan
sia-sia. Ia akan menggapai cita-citanya di bidang seni. Ia sungguh sudah
menjadi mahasiswa Fakultas Seni Rupa sebagaimana yang ia inginkan.
Ia memang seorang pencinta seni. Kecintaannya itu pula yang membawanya
merantau jauh menimba ilmu agar dapat menjadi seorang seniman sekolahan.
Seniman yang memiliki intelektualitas dan cara berpikir sistematis, yang
bisa membuatnya mahir mengekspresikan seni yang tertanam dalam jiwanya
menjadi wujud karya-karya seni terkenal. Atau setidaknya ilmu yang
diperolehnya dapat bermanfaat bagi kelestarian dan perkembangan seni
budaya di tanah kelahirannya.
Kegembiraannya seakan bertambah sempuma dengan didapatkannya kembali
sepeda yang dibawanya dari Bali. Rupanya sepeda itu turut terbawa kereta
berputar-putar melewati Blitar dan setelah beberapa hari lamanya baru
tiba kembali di Bandung.
Maka resmilah Ardika sebagai mahasiswa ITB. Dengan antusias ia mengikuti
tiap mata kuliah di fakultas seni rupa itu. Kemudian baru ia sadar bahwa
kuliah di seni rupa itu menuntut dukungan finansial yang tidak sedikit
jumlahnya. Berhubung pada saat itu, subsidi pemerintah untuk sarana
peralatan kuliah telah dihapuskan. Jadi mahasiswa harus menyediakan
sendiri perlengkapan belajarnya, seperti cat, kuas, kanvas dan alat-alat
seni rupa lainnya. Sehingga jadilah pendidikan kali ini merupakan
sekolah yang cukup mahal baginya.
Permasalahan biaya sekolah ini, akhirnya membenturkan Ardika pada sudut
kenyataan bahwa ia harus rela mengundurkan diri dari fakultas idaman
setelah menekuninya dalam satu semester perkuliahan. Namun tentu saja
tidak berarti Ardika kemudian menjadi pengangguran di sana. Tujuan untuk
sekolah tetap menjadi prioritas utamanya. Karena sebelum memutuskan
mundur dari fakultas Seni Rupa ITB itu, ia telah terlebih dahulu
mendaftarkan diri pada Akademi Perhotelan di Bandung.
Walaupun tidak sesuai dengan kehendak batinnya, namun sekolah ini
memiliki ikatan dinas, di mana ia mendapatkan asrama berikut makan
beserta keperluan hidup dan uang saku.
Maka sekolah perhotelan yang tanpa biaya ini pun sungguh-sungguh
ditekuninya. Ia pun berhasil menyelesaikan perkuliahan di akademi itu
dengan memuaskan pada tahun 1967. Sehingga pihak institut langsung
memberikan kepercayaan kepadanya menjadi asisten dosen.
Sebagai asisten dosen, ternyata banyak menyisakan waktu luang yang
memungkinkannya mengikuti kursus bahasa Perancis yang ditempuhnya sampai
tahun 1969. Pada tahun ini juga, mencuat kembali hasrat yang demikian
besar untuk mempelajari seni rupa. Lagi pula, kali ini ia merasa telah
cukup mampu untuk memenuhi biaya pendidikan seni rupa.
Maka dengan keyakinan bulat dan didukung kemampuan finansialnya dari
gaji sebagai asisten dosen, pria yang menguasai (aktif) bahasa Inggris
dan Perancis ini mendaftar kembali di Fakultas Seni Rupa ITB. Kali ini
kehadirannya disambut sebagai “anak yang hilang” oleh dosen
pembimbingnya. Sebuah pertemuan akrab yang menyenangkan, hingga ia
merasa telah menemukan kembali jalan untuk siap menimba segala ilmu seni
rupa seperti yang dicita-citakan.
Namun setelah Ardika menyiapkan segala-galanya untuk mulai kembali
kuliah di Fakultas Seni Rupa itu, ternyata Tuhan berkehendak lain. Juni
1969, ia mendapatkan berita, bahwa ia lulus ujian seleksi beasiswa dari
pemerintah untuk menempuh pendidikan Manajemen Perbotelan, Institut
International Glion, Swiss. Rupanya inilah rencana Tuhan kepadanya,
hingga dua kali harus mengurungkan niat untuk mengenyam ilmu seni rupa
di ITB. Baginya hal ini sepertinya telah menjadi sebuah misteri
kehidupan yang mungkin terjawab dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian
dalam perjalanan hidupnya.
Kecewa memang dirasakannya. Namun kesempatan baik menempuh pendidikan
Manajemen Perhotelan di Institut International Glion, Swiss ini tidak
mungkin disia-siakan begitu saja. Demi tugas dan masa depannya,
berangkatlah Ardika ke negeri Swiss. Meninggalkan hijaunya bumi persada
ke sebuah tempat asing di mana dalam mimpi sekalipun tiada pernah
terbayangkannya.
Tak terasa tiga tahun Ardika berada di Swiss. Sebuah pengalaman yang
mengesankan di negara yang begitu maju dan menyenangkan. Namun seindah
apa pun di negeri orang tentu tak dapat sebanding dengan memendam
kerinduan pada bumi pertiwi yang semakin hari semakin dicintainya.
Tahun 1972, surat perpanjangan tugas pendidikannya di Swiss belum juga
ia terima dari pemerintah. Meskipun pemerintah Swiss sendiri masih
mengharapkan Ardika tetap tinggal di sana, namun mengingat sampai
Desember 1972 surat persetujuan dari pemerintah RI belum juga tiba di
Swiss, maka dengan inisiatif sendiri, ia memutuskan untuk pulang ke
tanah air.
Setibanya di Jakarta, Ardika dengan masih membawa kopor besarnya
langsung menemui duta besar Swiss di Indonesia melaporkan perihal
kepulangannya. Ternyata memang Ardika belum waktunya pulang, karena
surat perpanjangan pendidikannya di Swiss sebenarnya sudah siap untuk
segera dikirimkan kepadanya. Namun apa boleh buat, berhubung ia sudah
terlanjur tiba di Indonesia, maka akhirnya dengan bekal segepok ilmu dan
pengalaman yang diperolehnya di Swiss, Ardika ditugaskan untuk
bekerjasama dengan beberapa tenaga ahli dari Swiss di Akademi Perhotelan
Nasional (APN) Bandung sebagai Kepala Seksi Pengajaran sekaligus dosen
dalam mata kuliah house keeping.
Tahun 1973 adalah tahun yang memiliki warna tersendiri bagi I Gede
Ardika. Karena ketika itu, dalam rangka melaksanakan salah satu tugasnya
untuk melakukan wawancara kepada calon pegawai di APN Bandung, tanpa
disangkanya, ia menambatkan hati pada salah seorang gadis pelamar.
Wawancara bersama Indriati gadis asli Bandung itu berjalan lancar dan
begitu mengesankan, sampai-sampai setelah Indriati berhasil diterima
sebagai sekretaris di sana, Ardika tanpa menyerah mendekati, berteman,
bersahabat dan akhirnya berpacaran. Tidak heran bila Indriati pun
tertarik pada sosok akrab Ardika yang memang menyenangkan di balik
kecerdasan putra Bali ini.
Prestasi kerja luar biasa Ardika dapat dikatakan sepadan dengan
peningkatan karirnya. Dedikasi dan tanggung jawab pada pekerjaan telah
merupakan karakter tersendiri baginya. Tahun 1976 ia telah menjabat
sebagai Pjs. Direktur National Institute Bandung, sampai tahun 1978.
Kemudian ia dipindahtugaskan menjabat Direktur Pusat Pendidikan
Perhotelan dan Pariwisata di Nusa Dua Bali.
Pada tahun ini pula genap sudah lima tahun Ardika dan Indriati
berpacaran.
Dalam kurun waktu yang cukup lama untuk meyakinkan diri dan saling
mengenal, membuat Ardika tanpa ragu lagi meminang dan kemudian
mempersunting Indriati pada tanggal 7 Agustus 1978. Sejak saat itulah
mereka telah terikat untuk menyongsong hidup bersama sebagai suami istri
yang sekaligus memberikan jabatan baru bagi Ardika sebagai kepala rumah
tangga.
Selama di Bali, selain turut terlibat dalam pendirian Sekolah Tinggi
Pariwisata dan keanggotaan Komisi Pendidikan pada International Hotel
Association, Ardika juga memelopori diadakannya program diploma IV untuk
mempersiapkan calon-calon pimpinan bidang perhotelan. Sebuah program
yang memberikan pendidikan teknis dan keahlian manajerial dan
kepemimpinan dalam wawasan yang menyeluruh setingkat S1.
Tahun 1985, Ardika berpindah tugas sebagai Pelaksana Tugas Kepala Sub
Direktorat Perhotelan dan Penginapan Ditjen Pariwisata di Jakarta.
Kemudian diangkat menjadi Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Pariwisata
pada tahun 1988 sampai 1991.
Lalu mendapatkan tugas baru kembali ke Bali menjabat Kakanwil Departemen
Parpostel Propinsi Bali.
Karirnya terus menanjak secara alamiah. Ia tidak pernah memilih sebuah
tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Ia tetap setia mengikuti dan
mengerjakan dengan sebaik-baiknya semua beban tugas yang diembannya.
Kendati sudah banyak perusahaan swasta mengajaknya untuk bergabung,
dengan penawaran pendapatan yang jauh lebih besar dari apa yang
didapatkannya sebagai pegawai negeri, Ardika tetap setia pada panggilan
tugasnya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara.
Itulah Ardika, yang telah kenyang dengan ajaran tingkah lakon penari
Arja yang mata nuraninya telah terisi kisah-kisah pewayangan dan terasah
kesetiaannya pada cita-cita seni, budaya dan luhurnya norma
kemasyarakatan di bumi Bali. Hal yang membuatnya tetap teguh untuk
melangkah pasti dengan keyakinan sebagaimana pemilik talenta seni dalam
idealismenya yang tidak akan pernah ia ingkari. Talenta dan idealisme
seni yang begitu mengakar pada dirinya. Meski harapannya menjadi sarjana
seni rupa telah dua kali kandas namun setidaknya ia masih memiliki bara
dan semangat seni itu untuk diabdikan bagi kepentingan masyarakat,
bangsa dan negaranya, Indonesia.
Tahun 1993, Ardika kembali ke Jakarta, diangkat sebagai Kepala Pusdiklat
Departemen Parpostel. Hingga selanjutnya tahun 1996, mengemban tugas
sebagai Sekretaris Ditjen Pariwisata masih dalam lingkungan Departemen
Parpostel. Setelah itu, tahun 1998 ia diangkat menjabat Direktur Jendral
Pariwisata, Departemen Pariwisata Seni dan Budaya.
Lalu karirnya mulai mencapai puncak dalam pemerintahan Presiden
Abdurahman Wahid. Pada Kabinet Persatuan ia ditunjuk mengemban tanggung
jawab yang begitu besar sebagai Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia. Pada saat diumumkan di salah satu stasiun televisi,
Ardika sendiri tidak sedang menyaksikan siaran itu, dan sungguh
sebelumnya tidak ada pemberitahuan ataupun kabar perihal akan dipilihnya
ia sebagai menteri.
Pada hari itu, saat Ardika sedang bekerja di ruang kerjanya, tiba-tiba
terdengar suara tepuk tangan riuh dan kegaduhan di salah satu ruang
stafnya yang kemudian disusul berhamburannya para karyawan dan staf
kantor memasuki ruangannya untuk mengucapkan selamat. Tentu saja Ardika
menjadi kebingungan dan tidak begitu saja mempercayai kesaksian sekian
banyak orang yang mengucapkan selamat kepadanya. Tidak lama berselang,
disusul dering telepon dan faximille yang tidak henti-hentinya yang
kesemuanya senada mengucapkan selamat. Barulah kemudian, Ardika mencoba
menghubungi sekretariat negara menanyakan perihal kebenaran berita yang
ia terima. Ternyata semua ucapan selamat itu tidak salah alamat.
Inilah mungkin saatnya misteri kehidupan itu terungkap. Ia dibimbing
dalam tuntunan tangan Tuhan untuk memikul tugas mulia sebagai duta
budaya dan duta pariwisata bangsa ini. Dan dengan rasa syukur yang
mendalam, Ardika menerima dengan ikhlas dan penuh kesadaran untuk
memberikan yang terbaik dalam mengemban tugas sebagai menteri.
Pernyataan ini bukan sekedar slogan, namun Ardika membuktikannya dengan
nyata dan sungguh-sungguh untuk memegang sumpah jabatan yang
diucapkannya dengan menyebut nama Shang Hyang Widi Wasa Tuhan Yang Maha
Esa.
Tuntunan tangan Tuhan juga tercermin di saat Presiden Megawati
Soekarnoputri dipercaya rakyat melalui Sidang Istimewa MPR RI duduk
sebagai Presiden RI ke V pada tahun 2001. Suatu keputusan politik yang
memastikan berakhirnya pemerintahan Presiden Gus Dur yang kemudian
kabinetnya dinyatakan demisioner. Pada saat itu, banyak menteri negara
yang jarang tampak di kantornya. Bahkan ada yang turut larut dalam
kebingungan politik dan sibuk menentukan nasibnya di era pemerintahan
baru ini.
Namun keadaan demikan tidak dijumpai pada figur setenang dan sematang
Ardika. Ia telah tahu akan kewajibannya dan meski telah dinyatakan
sebagai menteri demisioner, ia tetap bekerja seperti sedia kala menunggu
perubahan kabinet oleh Presiden Megawati. Ia tetap menyelesaikan
tanggung jawabnya sebagai menteri meskipun ia sadar bahwa masa tugasnya
sudah tidak lama lagi.
Seperti biasa, sepulang dari tugas rutin sebagai menteri, Ardika
melepaskan rasa lelah di dalam ceria keakraban sebuah keluarga. Malam
itu, ia menemani isterinya Indriati dan kedua puterinya Luh Ariati dan
Made Andriani, menyaksikan sebuah serial sinetron. Di saat itulah
tiba-tiba terdengar dering telepon. Indriati mengangkat telepon itu.
Ternyata dari Kolonel Sutarto, ajudan Presiden, menyampaikan bahwa
Presiden Megawati ingin berbicara dengan Ardika. Tak lama kemudian
terdengar suara Ibu Negara itu, menanyakan kesediaan Ardika untuk
membantu kembali dalam kabinet yang dipimpinnya.
Setelah menangkap makna yang disampaikan oleh Presiden, Ardika dengan
rendah hati dan kesadaran untuk mengemban tugas negara, menjawab
kesediaannya untuk dipilih apabila masih mendapatkan kepercayaan dari
Ibu Presiden Megawati sebagai Kepala Negara.
Maka ia diangkat kembali sebagai menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam
Kabinet Gotong Royong. Selanjutnya, ia pun bekerja keras untuk
mewujudkan bangkitnya kembali dunia pariwisata di tanah air serta
terpeliharanya budaya bangsa.
Di tengah upayanya untuk melestarikan budaya bangsa dan mengembangkan
pariwisata, terjadi sebuah tragedi di Legian, Kuta, Bali. Teroris
meledakkan bom di pulau dewata itu. Menewaskan lebih 180 jiwa dan
mencederai ratusan jiwa lainnya. Peristiwa keji ini telah mengakibatkan
banyak turis mengurungkan niat ke Bali bahkan ke berbagai daerah tujuan
wisata lainnya di Indonesia. Ardika dituntut untuk lebih bekerja keras
lagi untuk memulihkan keadaan.
Penganut moto “Tantangan adalah kunci keberhasilan & kegagalan adalah
keberhasilan yang tertunda,” ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh
Indonesia di ruang kerjanya, Rabu 6 November 2002, berharap dalam enam
bulan sampai dua tahun, kondisi pariwisata Indonesia sudah pulih bahkan
sudah dapat berkembang. Namun ia tidak berkenan memberikan pernyataan
lagi mengenai masalah ini. Menurutnya petanyaan tentang ini sudah kuno.
Sebab sebelumnya ia telah banyak menyampaikan pernyataan sehubungan
dengan peristiwa bom di Bali itu. Ia tampak menyesalkan beberapa
pemberitaan media cetak maupun elektronik yang tidak selalu benar
tentang berbagai hal yang menyangkut peristiwa itu.
|
|