|
||
|
Kebudayaan Masa Depan dan Takdir Manusia: Sebuah Refleksi Etis dan Filosofis[1]Yasraf Amir Piliang[2]Lukisan kebudayaan masa depan tidak saja menggambarkan perilaku, mental, nilai dan makna yang dibangun di dalamnya, tetapi melukiskan ‘takdir’manusia sendiri. Perkembangan budaya masa kini, yang sangat dibentuk oleh kemajuan teknologi mutakhir menempatkan ‘manusia’ di dalam sebuah kondisi ‘ambivalensi’. Teknologi informasi-digital menawarkan ‘pengalaman hidup’ di dalam ruang yang baru, yang ‘melampaui’ apa yang selama ini diterima sebagai ‘realitas. Akan tetapi, ia sekaligus menjadi sebuah ‘ancaman baru’ bagi keberlanjutan manusia ‘otentik’, karena di dalam struktur teknologi macam itu, manusia cenderung diperlakukan sebagai ‘hamba teknologi’. Berbagai konsep digunakan untuk menjelaskan trend kebudayaan masa kini: ‘budaya posmodern’, ‘budaya global’, ‘budaya cyber’ atau ‘budaya elektronik’. Budaya posmodern menunjuk pada kecenderungan ‘tempo-kultur’ berupa titik balik sejarah, yaitu kembalinya segala yang dilupakan, dilarang dan dimarjinalkan di masa lalu. Budaya global menunjuk pada kecenderungan ‘geo-kultur’ berupa mengglobalnya aneka bentuk kebudayaan. Budaya elektronik menunjuk pada kecenderungan ‘tekno-kultur’ berupa elektronisasi hampir semua dunia kehidupan. Sementara, budaya cyber menunjuk pada kecenderungan ‘spasio-kultur’ berupa peralihan ruang kehidupan dari ruang nyata ke ruang maya. Apapun konsep yang digunakan untuk menjelaskan trend kebudayaan mutakhir itu, yang pasti semuanya berkaitan dengan transformasi pada tingkat ‘dunia kehidupan’ (life world), yaitu bagaimana manusia menerima, menghuni, mempersepsi, menyadari, menjalankan dan memaknai dunia sebagai sebuah ‘hunian’ eksistensial (dwelling). Semuanya berkaitan dengan transformasi dalam cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi, melakukan pertukaran dan transaksi, mengelola dan mendistribusikan kekuasaan, mengembangkan dan mengalihkan pengetahuan, membangun dan memelihara nilai-nilai dan terutama memaknai keberadaan dan eksistensinya. Jejak-jejak kebudayaan dibelakang kita merupakan sinyal-sinyal tentang ‘nasib manusia’ di depan. Melihat jejak dan sinyal-sinyal itu, mungkin muncul pertanyaan, masih dapatkah kita berbicara tentang ‘budi’ dan ‘daya’ manusia di masa depan, atau berbicara tentang ‘manusia’ dan ‘kemanusiaan’ itu sendiri, ketika teknologi mutakhir menjadi alat ‘pengendalian’ manusia, ketimbang pembangun ‘manusia bebas’. Teknologi menciptakan kondisi ‘kebergantungan’, ketimbang ‘pembebasan’ dan ‘keotentikan’. Manusia cenderung kehilangan subyektivitas, karena larut di dalam seduksi teknologi. Adalah teknologi itu sendiri yang ‘membentuk’ manusia, bukan manusia yang dibentuk olehnya. -----------------------------
[1]
Makalah disampaikan dalam Konperensi Internasional JakArt @2008,
“Kesenian dan
[2]
Dosen pada Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD, serta
Program Magister Studi
Pembangunan (SP), Institut Teknologi Bandung Prediksi Kebudayaan Meneropong kebudayaan masa depan tidak sama dengan memprediksi ekonomi atau meramalkan perkembangan sains dan teknologi. Teknologi bisa diprediksi arah perkembangannya, karena bersifat eksponensial dengan indikator-indikator yang sangat terukur. Meramalkan ekonomi, meskipun dengan berbagai fluktuasi yang ada, masih dapat dilakukan, karena masih dapat bersandar pada indikator kuantitatif. Indikator kebudayaan lebih bersifat kuantitatif, dengan kompleksitas bentuk dan struktur yang tidak mudah untuk diramalkan. Oleh karena itu, untuk ‘memprediksi’ kebudayaan masa depan, futurolog cenderung menggantungkan diri pada teknik metode ‘skenario’. Memprediksi kebudayaan masa depan, seperti prediksi pada umumnya, didasari oleh seperangkat asumsi-asumsi budaya tentang keterkaitan antara masa kini, masa lalu serta masa depan manusia dan lingkungannya, tentang apa yang kita anggap sebagai pengetahuan tentang manusia dan artifak dan jejak-jejak sejarahnya, dan tentang relasi timbal balik antara manusia dan dunia buatan manusia, antara manusia dan lingkungannya. Meskipun demikian, tidak semua aspek kebudayaan dapat diprediksi. Lukisan kebudayaaan masa depan ditentukan pula oleh peran takdir, ketakterdugaan, kecelakaan, kehendak bebas, kehendak Tuhan dan determinisme lainnya, di luar pikiran manusia. Bagaimana kita mengantisipasi masa depan kebudayaan? Untuk menjawab pertanyaan ini orang pertama-tama melihat ‘trend dominan’, mempertanyakan apakah kita dibawa ke sebuah dunia masa depan yang benar-benar ingin didiami oleh kita dan anak cucu kita? Apakah kebijakan dan respons dari pihak-oihak yang terkait memadai untuk menghentikan atau mentransformasikan konflik dan ketimpangan kultural yang ada? Bila tidak, apakah ada contoh masyarakat dan kebudayaan yang memberikan kemungkinan masa depan lebih baik yang dapat memperkaya manusia dan kemanusiaan? Dalam kondisi penuh ketakpastian macam ini, para futuris biasanya mengkonstruksi ‘skenario’ yang melukiskan citra masa depan alternatif yang konsisten dan persuasif. Dalam membaca kebudayaan masa depan, kita dapat menelusuri jejak-jejak peradaban jauh di belakang, untuk menemukan kemungkinan arah ke masa depan. Beberapa futuris melukiskan ‘tiga gelombang’ untuk melukiskan jejak-jejak perubahan masyarakat dan kebudayaan. Inilah transformasi besar dari gelombang pertama ‘pertanian’, gelombang kedua ‘era industri’ dan gelombang ketiga ‘pos-industri’, sebagaimana dilukiskan Alvin Toffler. Pada tingkat kebudayaan, ada yang menjelaskan jejak-jejak itu dengan cara berbeda, sebagai peralihan dari era ‘pra-modern’, ‘modern’ dan ‘pos-modern’. Ada yang memandang jejak-jejak peradaban masa lalu sebagai transformasi empat ‘ekologi budaya’. Pertama, ‘budaya sungai’ yang berkembang di Mesopotamia, yang di dalamnya cara pengolahan tanah (‘culture’) mulai dilembagakan, dan di dalamnya ditemukan tulisan (script). Kedua, ‘budaya kota’ (empire) Mediteranian, yang di dalamnya ditemukan alpabet, serta perkembangan politik yang bersifat feodalistik. Ketiga, ‘budaya samudra’, yaitu budaya yang berkembang bersama dengan perkembangan industrialisasi dengan sistem ekonomi bersifat kapitalistik. Keempat, ‘budaya ruang’ yang berkembang bersama perkembangan abad informasi dan elektronika, dengan sistem pengaturan ekonomi lebih bersifat sosialistik. Trend Kebudayaan Melalui tamasya ke dalam jejak-jejak sejarah peradaban yang jauh ke belakang itu, sebuah ‘lukisan umum’ tentang masa depan dapat kira-kira dilukiskan. Di dalam bingkai lukisan umum itulah kita dapat melihat ‘trend-trend dominan’ yang membangun kebudayaanmasa kini, yang kemudian membawa kita ke beberapa ‘skenario kebudayaan’ masa depan, yang mungkin kita inginkan atau malah tidak kita harapkan. Pertama, ‘trend ruang-waktu’. Kebudayaan ditandai oleh kecenderungan ‘pemampatan jarak oleh waktu’. Perkembangan aneka teknologi visual jarak jauh (tele-visual) memungkinkan kita melakukan ‘penglihatan jarak jauh’ (tele-vision). Melalui teknologi real time, ruang itu kini ‘dikuasai oleh waktu’. Acara live (artinya real time) di televisi manapun kini menjadi milik siapapun di seantero dunia. Ketika jarak telah diatasi oleh waktu, konsep ‘geografi’ kehilangan makna, di dalam dunia yang dikuasai oleh multiplisitas interface: layar komputer, televisi, telepon seluler, kamera video. Tak ada lagi perbedaan ‘di sana’ dan ‘di sini’. Semuanya ada di hadapan saya, kini. Penampakan menjadi ‘lintas-penampakan’, yaitu dapat hadirnya di hadapan mata secara realtime berbagai data yang berasal dari berbagai sumber, ruang dan waktu berbeda. Teknologi realtime dibangun oleh spirit ‘kecepatan’, yaitu ‘pemadatan tempo kehidupan’, yang menyatukan garis waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan, menjadi sebuah ‘waktu simultan’, sebagai sebuah ‘pembekuan waktu’ (time freezing). Waktu yang seharusnya berjalan melalui ‘garis murni waktu’ (trajectories) kini dihadirkan secara simultan di dalam sebuah ‘ruang waktu teknologi’ real time. Melalui aneka ‘mesin kecepatan’ elektronik-digital, kita kini ingin hidup serba ‘cepat’, serba ‘instan’. Ketiga, ‘trend psiko-perseptual’. Peradaban yang telah kehilangan makna geografi, ruang dan tempat kini dikuasai oleh relasi interface, yaitu relasi antar manusia yang diperantarai oleh mesin. Mesin interface menciptakan sebuah kondisi keterlihatan tanpa pertemuan tatap muka (face-to-face). Di dalamnya, ‘pandangan dunia’ kita didominasi oleh ‘cara melihat jarak jauh’ (tele-vision), yang di dalamnya peran mata manusia diambilalih oleh peran ‘mata elektronik’ (camera, hidden camera, camcorder). Kini, melalui program Google Earth, rumah, pagar, halaman bahkan tempat sampah di depan rumah dapat dilihat oleh orang-orang di seantero dunia. Pada tataran psikis, budaya kecepatan membangun ‘manusia panik’, yang hidup dalam rusuh, tak sabar, tergesa-gesa, dan tak mau ketinggalan. Seakan-akan ada yang mengejar dalam kehidupan. Ada kebutuhan untuk ‘mempercepat’ segala sesuatu melalui ‘mesin kecepatan’: tombol speed-dial, handphone, remote control, electric toothbrush, electric shaver, handphone, electric digital diary, internet, wi-fi. ‘Mesin kecepatan’ itu mengkondisikan model ‘reaksi cepat’, ‘tindakan cepat’ dan ‘hasil cepat’ (instant culture), karena di dalamnya tidak ada waktu ‘normal’: menunggu, berproses, bersabar. Keempat, ‘trend ideologis’. Teknologi informasi-digital mutakhir memberi ruang bagi ‘redefnisi ideologi’, dengan memberikan tempat yang luas bagi ‘kebebasan personal’ (personal freedom), di luar bingkai ‘demokrasi’. Apa yang ingin diciptakan melalui ruang yang dibangun oleh teknologi informasi, seperti cyberspace adalah manusia-manusia yang ‘berpikir untuk dirinya sendiri’, yang tidak bergantung pada ideologi atau otoritas apapun. Cyberspace diyakini sebagai ruang penciptaan ‘otoritas’ dan ‘kekuasaan’ individual di dalam jaringan. Perkembangan ‘masyarakat jejaring’ merubah secara fundamental padangan tentang ‘kekuasaan’. Ada peralihan sistem kekuasaan dari sistem demokrasi (democracy), sebagai sistem kekuasaan tertinggi di tangan ‘rakyat’, ke arah sistem ‘netokrasi’(netocracy), yaitu sistem di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan ‘jaringan’(plural). Tercipta semacam ‘egalitarianisme radikal’, di mana kekuasaan dan kebebasan individu tidak lagi diikat oleh konsensus politik, tetapi oleh kemampuan ‘menarik perhatian’, ‘perayuan’ atau ‘seduksi’. Siapa yang berhasil mengemas citra dirinya, dialah yang berkuasa. Kelima, ‘trend etis’. Melalui pintu masuk yang berlapis-lapis, teknologi membentangkan banyak horizon pengharapan: kesenangan tak terperi, pengembaraan tak bertepi, pengetahuan tanpa batas, pengalaman tanpa pembatas. Manusia terpikat masuk ke dalamnya karena begitu kuatnya ‘daya pikat’ (lure) dari dunia virtual teknologi itu. Akan tetapi, multiplisitas pintu masuk itu, pada kenyataannya semuanya adalah perangkap (trap). Sekali masuk ke dalamnya, orang tidak bisa lagi keluar. Inilah perangkap televisi, hp, mobil, game, mesin cuci. Di setiap pintu masuk itu manusia dibujuk melalui aneka ‘seduksi’, dengan menawarkan cara hidup baru. Akan tetapi, cara-cara itu hadir di dalam bentuk ‘kelimpahan’ dan pergantian makin cepat, yang mempersempit ruang bagi tindakan berbasis etika. Teknologi seakan-akan memberikan pengalaman ‘keintiman’ (intimacy), akan tetapi ‘keintiman jarak jauh’, yang menghilangkan bersamanya dimensi etis: kepatutan, keutamaan, rasa malu, kebajikan, etiket, dan rasa hormat. Teknologi membangun batas-batas baru ‘kepantasan’, ‘kesenonohan’ dan ‘keutamaan’, yang disesuaikan dengan tuntutan teknologi. Keenam, ‘trend nilai’. Teknologi tidak saja ‘memanggil’ (interpellate) manusia sebagai subyek, tetapi sekaligus ‘membenamkan’ mereka di dalam aneka ‘keterlibatan’ (engagement) dan ‘keterserapan’ (absorbed). Melalui teknologi manusia menyibukkan diri dalam urusan-urusan membuat, mengkonstruksi dan melihat yang bersifat halusinatif. Computer game adalah contoh dari ‘lingkungan membenamkan’ itu, yang dalamnya ‘momen kontemplasi’ direnggut oleh ‘momen ekstasi’. Homo ludens mengalahkan homo cogitatum. Nilai ‘hiburan’ mengalahkan nilai ‘pengetahuan’ atau ‘iman’, Selain itu, teknologi menghadirkan terlalu banyak fungsi, pilihan, citra, dan informasi. Sementara, ‘bom informasi’ itu kini selalu diikuti oleh ‘bom perusakan’ (virus, pop-up, spam). Kerusakan menciptakan alat-alat ‘anti-kerusakan’: virus menggiring ‘anti-virus’ baru, spam menggiring ‘spam-killer’ baru, sebagai sebuah proses sirkuler yang melelahkan. Sirkuit ‘penciptaan-perusakan’ tanpa akhir menciptakan ‘momen ketegangan harian’, yang ‘merenggut’ waktu kesadaran manusia menjadi waktu artifisial ‘perang kecepatan’ yang membuat frustrasi. Ketujuh, ‘trend ontologis-eksistensial’. Kebudayaan semakin dipadati oleh sifat-sifat ‘artifisialitas’, yang di dalamnya dunia realitas diambilalih oleh ‘realitas artifisial’. Melalui teknologi simulasi, segala sesuatu kini dapat ‘dimaterialisasikan’ dan ‘direalisasikan’. Di dalam program ‘mistik’ televisi, hantu yang sesungguhnya tak-berwujud (non-being), kini diklaim dapat dihadirkan di dalam layar secara live. Kemampuan teknologi informasi elektronik-digital mutakhir dalam ‘mematerialisasikan’ segala fantasi, ilusi dan halusinasi telah melenyapkan batas semuanya. Kebudayaan yang dibentuk oleh skema teknologi mutakhir melibatkan manusia di dalam sebuah kondisi ‘paradoks eksistensial’. Teknologi, di satu pihak, adalah sebuah ‘pembentangan-kemungkinan-dunia’, ‘perpanjangan tangan’ atau ‘perluasan horizon’ manusia; di pihak lain, justeru membawa ‘ketakterlukisan yang enigmatik’, ‘rasa ketakamanan ontologis’ dan ‘ketakpastian identitas’. Di dalam dunia teknologi, manusia ‘tak-merasa-di-rumah’, ‘tak-merasa-memiliki’, ‘tak-merasa-ada’. Manusia hidup di dalam sebuah ‘rumah ontologi’ yang tanpa pagar pengaman, teritorial yang tanpa aparat, dan ‘ruang hunian’ yang tanpa rahasia. Narasi Kebudayaan Masa Depan Teknologi tidak sekadar kumpulan alat, instrumen atau fungsi, tetapi sebuah keseluruhan yang membangun sebuah ‘narasi’ atau ‘cerita kehidupan’ bermakna, yang mengikuti sebuah ‘pemikiran’ atau ‘rationale’ tertentu. Narasi Besar adalah sebuah cerita besar dunia yang dibangun melalui totalitas konsep, ideologi, tindakan, cara, fungsi dan nilai-nilai tertentu. Teknologi informasi-digital membangun sebuah ‘narasi digital’, yang melaluinya sebuah ‘lukisan besar’ dunia digital dibangun, melalui digitalisasi hampir semua aspek kehidupan (sosial, politik, ekonomi dan kultural). Narasi teknologi membentangkan sebuah ‘horizon pengharapan’ (horizon of expectation), yang mencakup segala keinginan, pilihan, perkiraan, kecemasan bahkan ketakutan tentang masa depan. Kecemasan akan masa depan kebudayaan dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi adalah, bahwa teknologi ‘mengendalikan’ kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan ‘tunduk’ pada kemauan teknologi. Teknologi menjadi sebuah ‘kekuasaan’ (technocracy), yaitu sebuah sistem sosial di mana kekuasaan tertinggi terletak di tangan alat-alat teknis. Teknologi menjadi ‘perumus’ kebudayaan. Apapun teknologi yang dikembangkan, meskipun tidak sesuai dengan pranata dan nilai-nilai kebudayaan yang ada, kebudayaan harus menyesuaikan diri dalam sistem, pranata, struktur dan landasan etisnya. Teknologi tidak menjadi bagian integral kebudayaan, malah ‘merusak’ struktur dan norma-normanya. Teknologi kini menjadi ‘ancaman’ bagi kebudayaan. Kecepatan pertumbuhannya telah ‘melampaui’ apa yang dapat ditanggungkan oleh kebudayaan. Berkaitan dengan kebudayaan yang dibangun oleh model determinasi teknologi di atas, muncul pertanyaan sejauh mana teknologi masa depan mampu membentangkan horizon pengharapan bagi kebudayaan dan manusia? Trend tentang narasi elektronik-digital yang berkembang memperlihatkan sebuah ‘horizon pengharapan’ yang bersifat paradoksal—yaitu ‘paradoks antara ‘kehidupan’ dan ‘kematian’. Sebuah pengharapan terbentang di masa depan, karena teknologi informasi yang didominasi oleh medium ‘layar’ akan digantikan oleh teknologi informasi generasi kedua, yang di dalamnya gambar tidak lagi diproyeksikan pada layar, tetapi pada ‘udara nyata’—seperti hologram. Teknologi informasi generasi kedua itu membentangkan berbagai horizon baru kebudayaan, yang boleh jadi adalah harapan baik atau malah buruk: Teknologi masa depan membentangkan sebuah ‘horizon ruang-waktu’ yang baru. Di masa depan akan ada pemahaman baru ‘ruang waktu’, karena diambilalihnya teknologi citra, dari ‘teknologi layar’ ke arah teknologi ‘proyeksi udara’. Melalui band-with lebih tinggi, daya processing lebih besar, perangkat input-output lebih canggih, miniaturisasi komponen ke arah nano-technology, serta kemampuan proyeksi citra tiga dimensi ke udara, batas yang secara tradisional dibentuk oleh bingkai-bingkai windows pada layar komputer mungkin akan lenyap. Bila sebelum ini orang mengkawatirkan dunia realitas kebudayaan diambilalih oleh ‘budaya layar’ (screen culture), di masa depan justeru ‘budaya layar’ itu sendiri yang digantikan oleh ‘budaya hologram’, yaitu proyeksi citra ke udara terbuka. Selama ini, kita memahami ‘realitas artifisial’—yang merupakan ‘musuh’ dari dunia nyata—sebagai dunia yang dibangun di dalam layar elektronik (komputer, televisi, video). Di masa depan, ‘realitas artifisial’ itu adalah realitas citraan elektronik yang ‘hidup’ yang dibangun di ruang nyata di sekitar kita, sehingga berbaur dengan manusia, alam, dan benda-benda di sekitar kita. Citra-citra artifisial tidak lagi hadir di dalam layar, tetapi di sebelah kita: samping, depan, belakang, atas. Citra-citra itu hidup bersama kita, di dalam ruang yang sama yang kita tempati. Teknologi itu membentangkan pula ‘horizon etis’ yang baru. Pandangan tentang etika adalah pandangan tentang ‘kebaikan’ atau ‘keutamaan’, yang secara konseptual dipertentangkan dengan ‘yang tak baik’ atau ‘tak bijak’. Trend teknologi mutakhir, seperti internet, televisi, video dan handphone, membuka ruang bagi sebuah ‘dekonstruksi etis’ (ethical deconstruction), yaitu membongkar konvensi-konvensi etis, yang selama ini disepakati secara sosial, dengan membangun sebuah ‘cyber-ethics’. Layar internet, misalnya, adalah sebuah ruang, yang di dalamnya orang bekerja dengan ‘ukuran moral’ masing-masing, semacam ‘relativisme moral’. Teknologi informasi memiliki karakter ‘ironi etis’: sebuah dunia penuh ‘harapan kebaikan’ dan ‘keutamaan’; tapi sekaligus ‘keburukan’ dan ‘degradasi’. Di dalam dunia ‘layar’ orang dengan leluasa melakukan ‘permainan moral’: merusak, mempermainkan, memparodi citra orang lain. Di dalam ‘budaya holgram’ masa depan, trik-trik ‘permainan moral’ atau ‘immoralitas’ akan berkembang semakin kompleks, karena trik gambar tidak lagi sekadar di dalam layar, tetapi di udara bebas, yang memungkinkan orang melakukan tindakan amoral secara lebih ‘mengejutkan’. Kebudayaan dan ‘Takdir’ Manusia Kecenderungan perkembangan kebudayaan masa depan akan masih ditentukan oleh ‘determinasi teknologi’ (technological determinism), bila tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi, sains dan teknologi sekarang ini. Meskipun teknologi dibangun di atas sebuah ‘fondasi budaya’ atau ‘pandangan dunia’, akan tetapi, produk sains dan teknologi itu dapat secara fundamental berbalik merubah fondasi budaya, narasi kehidupan dan pandangan dunia itu sendiri. ‘Narasi teknologi’(technological narrative), yaitu sebuah ‘cerita’, ‘ideal-ideal’ dan ‘angan-angan dunia’ yang dibangun melalui kekuatan sains dan teknologi, mampu merubah nilai, norma, prinsip etika, filsafat, dan mentalitas manusianya. Dalam skema ‘determinasi teknologi’ itulah kita layak berbicara tentang ‘takdir manusia’ (human fate) di dalam kebudayaan masa depan, yang sangat ditentukan oleh arah perkembangan teknologi sendiri. Teknologi itu ‘merayu’ (seduce) atau ‘memanggil’ (intepellate) manusia untuk masuk ke dalam ‘alam’nya, dengan meyakinkan manusia tentang ‘kebenaran’nya, yang menjadikan orang ‘terbenam’ di dalam lautan kesenangannya, sehingga terjebak dalam ‘kecanduan’ dan tak mau melepaskan diri darinya. Dan akhirnya teknologi menjadikan orang memroduksi keinginan dan kesenangan baru, yang tidak diperoleh sebelumnya. Inilah ‘takdir’ manusia di hadapan teknologi.Teknologi meredefinisi pemahaman kita tentang ruang dan waktu. Teknologi itu adalah sebuah cara ‘mendekatkan’, tetapi sekaligus ‘menjauhkan’; sebuah cara menjadikan ‘akrab’, tetapi sekaligus ‘asing’; sebuah pembukaan dunia kemungkinan, tetapi sekaligus penyelubungannya; sebuah bentuk pendefinisi eksitensi, tetapi sekaligus sebuah ‘pelarian’; sebuah cara penciptaan rasa perlindungan dan keamanan ontologis, tetapi sekaligus ketak-amanan ontologis; sebuah cara pembebasan, tetapi sekaligus pembelengguan; sebuah gerakan maju ke depan secara eksponensial, tetapi sekaligus gerakan mundur ke belakang secara repetitif; sebuah pembukaan horizon pengharapan, tetapi sekaligus ‘horizon kecemasan’ (polusi, radiasi, ekses, virus) . Di dalam bingkai kuasa teknologi, manusia sebagai subyek tak lebih dari ‘efek kontingensi’ (contingen effects) teknologi, bukan penentunya. Subyek memang berjuang dalam pencarian eksistensi melalui teknologi, tetapi hanya menemukan sifat ‘kesekejapan’ (ephemerality). Foucault melihat, bahwa teknologi sebagai wacana, seperti televisi atau internet, adalah dunia yang dapat dimasuki oleh manusia, yang di dalamnya telah ada relasi kekuasaan tertentu; yang di dalamnya bahasa mereproduksi dirinya sendiri melalui ‘kedaulatan wacana’ (sovereignty of discourse), yang di dalamnya subyek manusia tidak mempunyai kekuasaan terhadap dunia wacana itu. Manusia, di sini bukan pencipta wacana teknologi, tetapi sebagai ‘efek wacana’ semata, yang terserap ke dalam discourse yang telah tersedia baginya. Manusia, misalnya, tidak serta merta bisa merubah ‘struktur wacana internet’. Adalah wacana yang dibangun teknologi itu (internet, televisi, video, handpone) yang mempunyai kekuatan deterministik terhadap manusia, bukan sebaliknya. ‘Manusia’ mengalami takdir “kematian subyektivitas” di dalam formasi wacana bentukan teknologi, meskipun di permukaan ia tampak sebagai ‘manusia bebas’ . Di dalam kebudayaan yang dideterminasi teknologi, teknologi menjadi sebuah bentuk ‘seduksi’ (seduction), yaitu skema bujuk rayu dalam dunia artifisialitas bentukannya, yang di dalamnya manusia menjadi ‘sang tergoda’. Konsep McLuhan ‘media adalah pesan’ (medium is the message), menjelaskan teknologi sebagai sebuah ‘pesan’. Pesan teknologi adalah segala perubahan struktur, kebiasaan, cara, dan relasi pada manusia akibat penggunaannya. Manusia terserap ke dalam logika teknologi, ke dalam irama pergantian bentuk, gaya dan citranya. Di hadapan ‘kuasa teknologi’, manusia menjadi subyek yang ‘rapuh’, ‘rentan’ dan ‘tak berdaya’ atas segala rayuannya. Manusia sebagai subyek harus menyesuaikan dirinya dengan obyek teknologi, bukan teknologi yang menyesuaikan diri terhadapnya. Yang kemudian tercipta adalah sebuah paradoks, di mana kedaulatan subyek tidak dapat lagi dipertahankan di hadapan ‘kedaulatan teknologi’. Subyek manusia lenyap di dalam horizon teknologi. Pada tataran psikis, di dalam kebudayaan yang dideterminasi teknologi, manusia menjadi subyek yang mengidentifikasikan dirinya ke dalam ‘tataran simbolik’ (symbolic order) bentukan teknologi, tanpa kuasa merubahnya. Subyek sangat menggantungkan definisi tentang dirinya (self) dan eksistensinya pada keberadaan sang lain (the other) di dalam sebuah relasi psiko-sosial yang kompleks yang diperantarai oleh teknologi, yang melaluinya ia mengidentifikasi dirinya, melalui sebuah mekanisme efek cermin (mirror effect). Aneka teknologi (televisi, video, filem, internet) menjadi medium bagi ‘identifikasi palsu’ ini, yang disebut ‘suture’. Teknologi menjadi sebuah mekanisme, yang melaluinya subyek dan subyektivitas dibangun, melalui relasi kepenontonan. Teknologi menjadi tempat bagi proses konstruksi subyektivitas palsu, yang mengarahkan subyek pada sebuah konsep diri, yang sesungguhnya adalah diri ‘sang lain’, akan tetapi diterima secara salah sebagai sebuah kebenaran tentang diri (misrecognition). Penutup Perkembangan kebudayaan yang tunduk pada determinasi teknologi, cenderung menjadi beban kultural, ketika ia tidak dapat lagi diserap dan dimaknai oleh manusia. Teknologi berubah menjadi semacam ‘ekstasi’, yang bertumbuh tanpa peduli dengan tujuannya bagi ‘manusia’ dan ‘kebudayaan’. Beberapa gejala ‘ekstasi teknologi’ yang menjerat masyarakat masa kini dapat diidentifikasi, yaitu: merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh langkah menjadi milyuner), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual, cyber, artifisial), naturalisasi kekerasan (filem, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan (internet adult game), terbiasa dalam ketercabutan dari realitas (virtual community).Skenario-skenario kebudayaan masa depan harus dibangun, yang di dalamnya teknologi tidak ‘memangsa’ kebudayaan, tetapi menjadi bagian integral dari keberlanjutannya. Paradigma ‘teknologi yang lebih manusiawi’ harus dibangun, yang mengkombinasikan kecanggihan teknologi dan ‘sentuhan budaya’. Inilah paradigma ‘budaya teknologi’ yang ‘menjaga’ dan ‘merawat’ manusia dan kemanusiaan, bukan merusaknya. Teknologi harus dijadikan bagian integratif evolusi kebudayaan, dan produk kreatif dari imajinasi manusia. Di dalam paradigma baru ini, alam, seni, agama, dan sejarah manusia dilihat sebagai mitra setara dalam evolusi teknologi, oleh karena semuanya inilah yang mampu memberi teknologi ‘spirit’. Jalan teknologi diharapkan sejalan dengan jalan tuhan dan spiritual; seni dan kemanusiaan; bukan malah menghancurkannya. Referensi
Aukstakalnis, Steve dan Blatner, David, Silicon Mirage: The Art and Science of Virtual Reality, Peachpit Press, 1992 Bard, Alexander dan Söderqvist, Jan , Netocracy: The New Power Elite and Life AfterCapitalism, Pearson Education, 2002 Baudrillard, Jean., Simulations, Semiotext(e), New York, 1983 ______, In the Shadow of the Silent Majorities, Semiotext(e), New York, 1983 Caplan, David, Culture Theory, Prentice Hall Inc., New Jersey, 1972 Coyne, Richard, Technoromantism: Digital Narrative, Holism and the Romance of the Real, The MIT Press, 1999 Deleuze, Gilles, Difference and Repetition, Columbia University Press, New York, 1994 Deleuze, G. dan Guattari, F., On the Line, Semiotext(e), New York, 1993 Didsbury Jr, Howarrd F. (ed), The Future: Opportunity Not Destiny, World Future Society, 1989 Foucault, Michel, The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences, Tavistock & Routledge, 1989 Gibson, William , Neuromancer, Vintage, 1993 Gleick, James, Faster: The Acceleration of Just Everything, Pantheon Book, New York, 1999 Guattari, F., Molecular Revolution: Psychiatry and Politics, Penguin Book, London, 1981 ______, Chaosophy, Semiotext(e), New York, 1995 Heidegger, Martin, ‘The Question Concerning Technology’, dalam Basic Writings, Harper, San Francisco, 1971 ______, Being and Time, Basil Blackwell, Oxford, 1995 Howe, Leo dan Wain, Alan (ed), Predicting the Future, Cambridge University Press, 1993 Kurian, G. T. dan G.T.T., Molitor, (ed), Encyclopedia of the Future, MacMillan, 1996 Lacan, J., The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis, Penguin Books, London, 1986 Leary, T., Chaos and Cyber Culture, Ronin Publishing Inc., New York, 1994 Naisbitt, John, High-Tech High-Touch: Technology and Our Search for Meaning, Broadway Books, 1999 Postman, N., Technopoly: The Surrender of Culture toTechnology,Vintage Books, New York, 1992 Rheingold, Howard., Virtual Reality, Mandarin, London, 1994
Silverman, K., The Subjects of Semiotics, Oxford University Press, Oxford, 1983 Thompson, William Irwin, Pasific Shift, Sierra Club Books, New York, 1986 Virilio, Paul, Speed and Politics, Semiotext(e), New York, 1986 ______, Open Sky, Verso, London, 1999
[1] Makalah disampaikan dalam Konperensi Internasional JakArt @2008, “Kesenian dan Kebudayaan dalam Membentuk Abad 21”, diselenggarakan oleh Panitia JakArt@2008, Jakarta, 2-4 Agustus 2008 [2] Dosen pada Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD, serta Program Magister Studi Pembangunan (SP), Institut Teknologi Bandung |
|
|
||
JakArt secretariat:
Jln. Lebak Bulus II / 20 A, Cilandak – Jakarta 12430, INDONESIA |