THE DAILY IF - JakArt's own Newspaper - Reporting about things that you wish would happen - A look into your own Future - Founder: Mpu Wyasa Aesop, C.E.O.: Isaac Newton/ Edisi I no. 1-4, Saka 1408, 361 solar 2.321 - Amanat Imaginasi Rakyat/ Bila anda terangsang untuk ikut berimajinasi, hubungi: Sekretariat Daily If di Jl. Lebak Bulus II no. 20a, Cilandak Barat,Jakarta Selatan 12430. Telp/fax +62-2175907687 Flexi: 70830742. email: proseni@indosat.net.id / website: http://www.jakart.info - IF DAILY - Albert Einstein: Chief Editor/ James Joice, George Perec: Editor/ Tan Malaka: Photographer/ Madonna: Promotion/ Radhar: Cleaning Service - Everything That U Wish/ The Imaginary Festival is a concept by Mikhail David

THE DAILY IF
article 10

   

Pendopo di tengah pulau (story contributed by Aisha Pletscher)

       
             
   

I.

Tepat pukul sembilan malam.  Suasana tenang dengan angin semilir menerpa wajah. Sejuk dan damai.  Di sana, di tengah pulau kecil itu, lima menit lagi, pasti pendopo itu akan diterangi cahaya temaram. Lalu kemudian akan terlihat bayangan orang yang meliuk-liuk dengan sebuah selendang putih, mengikuti alunan musik yang agak asing di telinga. Sudah dua minggu terakhir, kami menjadi saksi akan keajaiban yang terjadi di pendopo kecil itu.

Malam ini, beberapa dari kami telah menunggu “bangunnya” pendopo itu. Kami siap untuk menyeberangi danau yang mengelilingi pulau itu untuk dapat lebih dekat menyaksikan fenomena sang pendopo.  Siapa gerangan yang mengusik ketenangan jiwa beberapa minggu terakhir ini?

Lima …. Empat …. Tiga …. Dua …. Satu…. Byaaar…. Lampu petromax menyala terang, lalu sedikit meredup… sedikit lagi…. stop. Tepat sekali cahayanya, menghasilkan silhouette indah dibalik selendang sutra putih yang dibawanya.  Sesaat setelah terdengar bunyi musik yang asing itu, ia lalu mulai meliuk-liukkan badannya dengan gemulai namun anggun.

Tunggu….! Malam ini, ada satu…..dua…..! Dua?

Ya, benar! Ada sepasang insan yang bergandengan, berpelukan, dan berputar menyisir pendopo dengan gerakan yang sangat menyentuh jiwa. Sensitif, penuh kedalaman… Mempesona!

Kami kehilangan kata-kata, terpaku dalam kelam. Tak ada seorangpun yang bisa  melangkah, bernafas pun kami tak berani.  

Ayam berkokok menyadarkan kami bahwa telah tiba saatnya untuk kembali ke rumah kami masing-masing dan bersiap untuk berangkat kerja. Pendopo-pun kembali sepi dan gelap…

II

Tepat limabelas menit sebelum pukul sembilan malam. Kali ini cuaca agak mendung dan angin agak dingin. Beberapa perahu kecil terlihat mendekati pulau kecil dengan pendopo misterius itu. Tak mau tertinggal, kugandeng lengan adikku dan kami mengayuh perahu kecil kami sampai ke tepi seberang.

Masih lengang, masih ada waktu untuk bersiap… Semoga kami dapat tegar saat menyaksikan segalanya dari dekat.

Nah, kedua sejoli itu menapak ringan ke atas pendopo, menyalakan lampu petromax kesayangan mereka dan menyesuaikan dengan sinar keemasan yang pas. Setelah musik mengalun… mulailah mereka “menggeliat.”  Tepat pukul sembilan lewat lima menit.

Selendang sutra putih itu begitu harum…. Seperti melati aromanya… dan musik aneh itu menjadi sangat indah, menusuk jiwa yang terdalam. Liukan yang membius kami semua malam itu begitu Suci….. begitu Mulia…begitu Sempurna…!

Tiba-tiba…..

“ Ada siapa di situ?” terdengar si perempuan berbisik. “Saya mendengar suara…ada yang menangis?”  lanjutnya…

Selanjutnya lampu menjadi terang benderang, selendang sutra itu dibukanya dan sepasang penari itu tampak terkejut melihat kami yang terpaku membisu.

 “Dari mana kalian datang?” lanjutnya…..

Sebuah wajah yang bersinar anggun, tatapan yang menggetarkan jiwa, bersih dan polos… elok nian rupanya!

Kuberanikan diri untuk menjelaskan kami adalah warga desa seberang danau yang ingin melihat dari dekat suatu hal yang membuat kami penasaran. Suatu tarian yang tidak pernah kami alami seumur hidup kami. Cemas akan reaksi mereka, aku bersiap untuk lari. Namun ternyata mereka tersenyum lebar dan mengajak kami masuk ke pendopo.

Malam itu, merupakan kali pertama dari hari-hari selanjutnya di mana kami belajar untuk mengikuti gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Kedamaian dan kebahagiaan menyelimuti kami setiap pagi saat kami pulang ke peraduan masing-masing. Begitu nikmat musik yang kami dengar, mengisi jiwa yang terdalam. Suatu perasaan lain dari yang lain.

III.

8 Agustus 2008.

Tak akan pernah kulupakan hari itu. Paman mengajak aku dan adikku untuk ke kota. Ada pertunjukkan yang bagus, katanya. Aku dibawanya ke Teater Rakyat Semanggi, Jakarta. Kulihat di depan gedung itu ada gambar besar sekali terpampang penuh warna. Kata paman, itu namanya poster.

Adikku terkesiap, “Kak, itu kan …..” belum selesai ia mengucap aku tersadar bahwa yang akan kami lihat adalah gambar dari kedua sejoli yang telah mengajarkan kami segala sesuatunya tentang kedalaman nurani.

Kubaca poster itu:

RUDOLF NUREYEF dan ANNA PAVLOVA

mempersembahkan

“SWAN LAKE”

dengan The Moscow Symphony Orchestra.

#Srikandi88#